Selasa, 13 November 2012

Kewajipan taat, nasihati pemerintah


Oleh : ROSDI LONG

Polemik mengenai kedudukan mentaati pemerintah merupakan antara topik yang hangat dibincangkan. Bahkan terdapat parti politik yang berhasrat menganjurkan wacana bagi membincangkan perkara tersebut. Justeru dengan sedikit pengetahuan, Ikatan Kebajikan dan Dakwah Selangor (IKDDAS) merasakan eloklah dikongsi pandangan ini untuk tatapan.

Kewajipan taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri Muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil mahu pun zalim.

ALLAH SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk taat kepada pemerintahnya betapa pun jelik dan zalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para pemerintah tersebut tidak menampakkan kekafiran yang nyata. Daripada Ibnu Abbas RA, beliau berkata: ”Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai daripada penguasanya, maka bersabarlah! Kerana barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kewajipan taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, zalim atau melakukan banyak kejelikan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala ALLAH dengan memberikan hak mereka, iaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.

Diriwayatkan daripada Abdullah bin Mas’ud rad., dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: "Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para sahabat) bertanya: "Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?”

Beliau berkata: “Tunaikanlah kewajipan kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada ALLAH.” (Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).

Berkata Ibnu Hajar : “Wajib berpegang dengan jamaah Muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)

Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah SAW tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa - apakah dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan - maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu mentaatinya (pada perkara tersebut) dengan tidak melepaskan diri daripada jamaah.

Diriwayatkan daripada Abu Dzar RA bahawa dia berkata: “Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (Shahih, HR Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cetakan Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal 54)

Juga diriwayatkan daripada Suwaid bin Ghafalah. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar : ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini..., jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habsyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri daripada jamaah!” - Wallahualam.

 * Penulis ialah Presiden IKDDAS

Sumber : http : //www.sinarharian.com.my/

Tiada ulasan:

Catat Ulasan