Oleh : ROSDI LONG
Polemik mengenai kedudukan
mentaati pemerintah merupakan antara topik yang hangat dibincangkan. Bahkan
terdapat parti politik yang berhasrat menganjurkan wacana bagi membincangkan
perkara tersebut. Justeru dengan sedikit pengetahuan, Ikatan Kebajikan dan Dakwah
Selangor (IKDDAS) merasakan eloklah dikongsi pandangan ini untuk tatapan.
Kewajipan taat kepada pemerintah
merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya
kehidupan politik di negeri-negeri Muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering
dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang
sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap
pemerintahnya, baik yang adil mahu pun zalim.
ALLAH SWT memerintahkan kepada
kaum Muslimin untuk taat kepada pemerintahnya betapa pun jelik dan zalimnya
mereka. Tentunya dengan syarat, selama para pemerintah tersebut tidak
menampakkan kekafiran yang nyata. Daripada Ibnu Abbas RA, beliau berkata:
”Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai
daripada penguasanya, maka bersabarlah! Kerana barang siapa yang memisahkan
diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati
jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kewajipan taat kepada pemerintah
ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW adalah terhadap setiap penguasa,
meskipun jahat, zalim atau melakukan banyak kejelikan dan kemaksiatan. Kita
tetap bersabar mengharapkan pahala ALLAH dengan memberikan hak mereka, iaitu
ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan daripada Abdullah
bin Mas’ud rad., dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: "Akan muncul
setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak
memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian
ingkari’. Mereka (para sahabat) bertanya: "Apa yang engkau perintahkan
kepada kami wahai Rasulullah?”
Beliau berkata: “Tunaikanlah
kewajipan kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada ALLAH.” (Shahih,
HR Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Berkata Ibnu Hajar : “Wajib
berpegang dengan jamaah Muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka
bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)
Meskipun penguasa tersebut cacat
secara fisik, Rasulullah SAW tetap memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan
taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari
Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak
memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa - apakah dengan pemilihan, kekuatan
(kudeta), dan peperangan - maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan
dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada
kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu mentaatinya (pada perkara tersebut)
dengan tidak melepaskan diri daripada jamaah.
Diriwayatkan daripada Abu Dzar RA
bahawa dia berkata: “Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar
dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya
(cacat).” (Shahih, HR Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cetakan Daru Ihya-ut
Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal 54)
Juga diriwayatkan daripada Suwaid
bin Ghafalah. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar : ‘Wahai Abu Umayyah, aku
tidak tahu apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini..., jika
dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habsyah, terpotong
hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika
mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi
agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada
agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri daripada jamaah!” -
Wallahualam.
* Penulis ialah Presiden IKDDAS
Sumber : http : //www.sinarharian.com.my/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan